Jadi Psikolog Anak VS Jadi Jurnalis

Saya suka banget baca buku, khususnya buku-buku detektif seperti Hercule Poirot dan cerita kasus misteri/detektif yang ada dalam Intisari. saking seringnya pinjem buku Intisari, saya sempat menang “siswa of the month” yang paling sering hadiri perpustakaan zaman SMP lho. Yes, I am a nerd hehehe. dapat piala tapi pialanya disimpan di perpustakaan (yah kalau begitu apa guna juga ya.. tapi dulu juga bingung sih piala buat apa ditaruh di rumah). Dari zaman SMP itu lah, satu cita-cita saya yang timbul adalah pengen jadi Jurnalis. Kayak detektif, bedah kasus. bet.. bet.. bet.. detektifnya cantik lagi, kebayang rambut panjang, pakai celana panjang, dan semi blazer.

Setelah lulus sarjana psikologi, saya sebenarnya tidak mau jadi psikolog. saya kepikiran mau kerja jadi jurnalis, bedah-bedah kasus macam Chantal dulu di MetroTV (saya sempat kagum dahulu waktu mba Chantal masih sekal2 gitu, cantikkk hehehe.. sekarang juga masih cantik mba 🙂 dulu saya sekal juga, sekarang juga masih sih hehehe. jadi berasa dapat figur model :-p ). Jadilah saya mendaftar waktu itu ke MetroTV apply untuk (Journalist Development Program) JDP-nya, angkatan pertama kalau ga salah waktu itu. Eh.. ternyata lulus! hehehehe.. Lulusnya bersamaan dengan pengumuman bahwa saya juga lulus dari ujian masuk magister profesi klinis anak UI. Hari pertama masuk untuk keduanya jeda 1-2 hari kalau ga salah, jadi saya harus pilih salah satu.

Kebimbangan ini saya ceritakan ke orangtua saya. Nah, waktu itu Ayah saya bilang, “kamu masuk psikologi ya”. Saya mendengarnya menelan ludah. Hilang deh mimpi pergi-pergi travel buat cari berita. tapi saya coba taat sama apa kata ortu saya. Saya masuk ke UI dengan sedikit berat hati dan saya harus mengatakan kepada MetroTV bahwa dengan berat hati kesempatannya tidak bisa saya ambil. Saya kuliah dengan males-malesan. Beberapa teman saya tahu saya malas kuliah dan menyemangati saya. Saya akhirnya mengajukan diri sebagai Ketua Angkatan supaya ada alasan saya mau masuk kuliah. Untunglah teman-teman seangkatan saya sangat mengerti saya dan membantu peran saya dengan sungguh-sungguh. Aku sungguh cinta Angkatan Klinis Anak / KLA 8+.

Eh beberapa hari setelah saya kuliah, ayah saya mengatakan: “Kayaknya Papa salah ngomong. mungkin kamu sebenarnya mau jadi Jurnalis. Kamu masuk MetroTV deh.” Haaaa.. paa.. telat banget ngomongnya, sudah ditetapkan. sudah terlanjur. sedih banget waktu itu jalaninnya sampai merasa diri ini buruk, karena merasa salah ambil pilihan. Untunglah ada kakak-ku, kakak Peri yang saya panggil Kak Nita, yang mengatakan, “kamu ini termasuk putri terbaik Indonesia. kamu masuk UI. kamu perlu bangga sama diri kamu sendiri.”

Kebanggaan pada diri sendiri membutuhkan waktu. Pada diri saya, hingga beberapa tahun. Mungkin karena menjalani jalan yang saya pikir bukan jalan saya, apa yang ada ditangan saya menjadi tidak saya hargai dan saya anggap kurang. Setelah saya bisa menghargai dan memfokuskan bahwa pilihan saya adalah pilihan yang baik diantara pilihan-pilihan baik lainnya, maka pilihan mana pun sebenarnya tidak perlu saya sesali. Ada alasan spiritual juga yang menguatkan saya, yaitu Tuhan tidak pernah meninggalkan saya dimanapun saya berada, baik dalam pilihan yang saya pikir buruk juga dalam pilihan yang saya pikir baik. Dia selalu beserta saya.

Setelah saya lulus dari magister profesi psikolog anak, saya menjadi psikolog. Dan ada beberapa kesempatan saya diundang sebagai narasumber di MetroTV. Kadang-kadang nuansanya seperti hati saya, dunia jurnalis. tapi saya simpan baik-baik kenangan itu dalam hati saya, sampai saya nulis blog ini deh sekarang yang baca tahu hehehe..

Bekerja sebagai psikolog anak juga seperti detektif. Ia membedah masalah yang dihadapi oleh anak dan keluarga. Ia melakukan observasi, melihat riwayat dan bukti, mengkonfirmasi sejarah, seperti layaknya detektif. Ia membantu kasus-kasus untuk dipecahkan, dimana tidak semua kasus dapat di-handle oleh semua orang.

Saya senang sebagai saya yang sekarang. Semuanya baik. 🙂

Related Posts

Leave a Reply