Jakarta, CNN Indonesia — Perkembangan teknologi termasuk gadget (gawai) yang makin canggih memberikan banyak keuntungan bagi orang tua dalam mengasuh anak, antara lain menyediakan alternatif hiburan dan edukasi.
Namun di sisi lain, para orang tua juga makin resah lantaran anak mereka lama-kelamaan kecanduan gawai. Demikian disampaikan oleh psikolog keluarga Astrid WEN yang berpengalaman menangani berbagai kasus anak terkait gawai.
Diakuinya, keresahan orang tua terhadap anaknya yang kecanduan gawai semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
“Sebenarnya tidak sampai sepuluh kasus dalam sebulan saat saya praktik, namun dalam satu hingga dua tahun terakhir ini mulai banyak saya mengisi seminar kecanduan gawai pada anak,” kata Astrid saat ditemui CNNIndonesia.com dalam diskusi kecanduan gawai pada anak di kawasan Senopati, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
“Namun pertanyaan dari ibu-ibu dan keluarga besar, konsultasi di luar jam praktik semakin banyak. Dan kegiatan anak selain bermain gawai semakin sering ditanyakan,” lanjutnya.
Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Asian Parent dan dirilis pada November 2014 lalu di Singapore, Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina menunjukkan sebesar 98 persen orang tua di ASEAN mengizinkan anaknya untuk menggunakan gawai.
Dan penelitian yang menghimpun lebih dari 2.500 orang tua tersebut menemukan fakta penggunaan gawai oleh anak: 99 persen di rumah, 71 persen saat bepergian, 70 persen saat makan, 40 persen di rumah teman, dan 17 persen di sekolah.
Namun pada waktu bersamaan, para orang tua juga khawatir ketika sang anak lebih peduli pada gawai dibanding kegiatan humanis lain, seperti bersosialisasi, makan, belajar, dan sejenisnya.
Hal ini terlihat dalam penelitian yang masih dilakukan Asian Parent. Sebesar 92 persen orang tua khawatir penggunaan gawai berdampak pada kesehatan anak, 90 persen orang tua takut anak kecanduan gawai, dan terpapar konten yang tidak sesuai untuk anak seperti pornografi dikemukakan 88 persen orang tua.
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa aspek kekhawatiran orang tua terhadap penggunaan gawai oleh anak berbeda tiap negara.
Orang tua di Thailand 99 persen khawatir gawai berdampak pada kesehatan. Sementara 94 persen orang tua di Singapura khawatir anak kecanduan gawai. Lalu, 95 persen orang tua di Indonesia, khawatir anak terpapar konten porno via internet.
Serangkaian kekhawatiran tersebut sedikit banyak merupakan dampak negatif penggunaan gawai yang kebablasan oleh anak.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh University of Maryland, pada 2011, ditemukan fakta bahwa kecanduan teknologi di masa sekolah menyebabkan tekanan mental dan fisik, panik, bingung, dan merasa isolasi ekstrem. Hal ini muncul bahkan ketika anak dipaksa jauh dari gawai walau hanya satu hari.
Pemaparan Thomas Chung, konsultan kesehatan masyarakat Departemen Kesehatan Hong Kong dalam Summit on Child Health and the Environtment 2014 lalu menunjukkan peningkatan nyata penggunaan gawai dan internet oleh anak-anak selama 20 hingga 50 jam per pekan sejak 2003 hingga 2012.
Menurut data yang diambil Chung dari survei Census and Statistics Departement, pada 2003, sebanyak 16,3 persen anak usia 10-14 tahun menghabiskan 20-50 jam per pekan untuk mengubek-ubek internet. Lalu pada 2012, jumlahnya meningkat menjadi 37,2 persen.
Dan dampaknya, menurut hasil survei dari Departemen Kesehatan Hong Kong, ditemukan fakta bahwa anak yang kecanduan gawai 37 persen kehilangan kegiatan luar ruang, 49 persen mengalami gangguan tidur, 45 persen mengalami masalah akademis, dan 19 persen membohongi orang tua dan keluarga mereka hanya untuk aktif di internet.
“Kebanyakan kasus baru ketahuan seperti saat anaknya telat untuk mampu berbicara, setelah diselidiki ternyata gara-gara main gawai terus dan tidak pernah mengonsumsi makanan yang melatih daya kunyah anak,” kata Astrid.
“Di sisi lain, ternyata orang tuanya juga tidak cerewet menstimulus anak untuk berbicara, ini yang membuat akhirnya telat berbicara,” lanjut Astrid.
Namun dalam beberapa kasus khusus seperti autisme, Astrid mengatakan, tidak dapat memaksa anak untuk dapat langsung berbicara. Prioritas untuk anak berkebutuhan khusus ini adalah kemampuan merespon dalam bentuk komunikasi non-verbal seperti tatapan mata, sentuhan, gerak, dan sejenisnya.
“Untuk anak berkebutuhan khusus, rangsangan komunikasi non-verbal diperlukan supaya ia sadar ada dunia luar, baru kemudian berbicara supaya ada koneksi sosial. Dan semua ini harus terjadi tanpa ada penghalang, termasuk gawai.”
(vga/vga)