Jakarta – Stres dan penat bisa dialami seseorang ketika banyak masalah yang menerpanya. Bagi ayah dan ibu, bisa saja penat, kesal, dan marah yang dirasakan dilampiaskan pada buah hatinya.
Seperti kasus yang terjadi pada balita bernama Aditya Fadilah (4) di Palembang ini. Bocah malang tersebut meninggal dunia karena kerap mendapat kekerasan dari sang ibu yang menjadikannya sebagai objek melampiaskan amarah.
Menanggapi hal ini, psikolog anak dan keluarga dari Poin Clinician, Astrid W.E.N, MPsi, Psikolog mengatakan pada dasarnya kekerasan merupakan penyalahgunaan kekuasaan. Di mana seharusnya pihak yang ‘kuat’ melindungi pihak yang ‘lemah’. Dengan kata lain, pihak yang kuat menindas, melakukan kekerasan, atau memanfaatkan pihak yang lemah.
“Dalam hal ini si ibu memang lebih kuat, anak lebih lemah. Sehingga, saat ibu mendapat tekanan atau perlu melampiaskan emosinya, dalam kasus itu ya, ini tidak bisa digeneralisir, si ibu akhirnya menjadikan anak sebagai korban,” kata Astrid dalam perbincangan dengan detikHealth.
“Jadi dia (si ibu) menganggap anak sebagai pihak yang lemah, dan dia berkuasa atas anak ini, kemudian mungkin ada satu peristiwa yang mencetuskan akhirnya dia melakukan kekerasan terhadap anak,” tambah Astrid.
Baca juga: Tanda-tanda Anak Trauma Pasca Mengalami Kekerasan Fisik
Ia menambahkan, saat emotional brain (otak emosional) terpicu dan seseorang tidak memiliki kontrol diri, bisa saja ia kalap. Pada kasus Aditya, Astrid mengatakan mungkin juga si ibu memiliki riwayat masa lalu yang penuh dengan kekerasan, trauma, dan kepahitan dalam hidup.
“Lalu dia melihat anak ini sebagai problem. Nah, ketika otak emosional terungkit, diluputi emosi negatif, jadinya kalap dan itu sangat disayangkan sekali,” kata Astrid.
Apakah Hanya Emosi Sesaat?
Ketika ayah atau ibu melampiaskan amarahnya pada anak, tapi kemudian ia kembali peduli pada anaknya. Situasi ini bisa saja menunjukkan bahwa si orang tua bukan benar-benar tidak peduli pada buah hatinya. Lalu, apa bisa dikatakan kekerasan yang dilakukan orang tua hanya luapan emosi sesaat?
Menurut Astrid, orang-orang yang terbiasa dengan kekerasan memang akhirnya dia tidak terbiasa bertindak secara logika. Dan karena gaya bahasanya menggunakan kekerasan, akhirnya dia memberikan hal tersebut (kekerasan) dengan biasa saja kepada orang di sekitarnya.
|
“Buat kita memang nggak biasa, tapi buat ibu ini biasa. Akibatnya, anak pun merasa dia biasa mendapat kekerasan dari ibunya. Lingkaran kekerasan itu terjadi karena anak tidak mendapat model komunikasi atau pengasuhan yang berbeda dari yang biasa dia dapat,” tutur Astrid.
Maka dari itu, setelah kekerasan terjadi, situasinya kembali lagi ke kondisi yang normal menurut mereka. Sehingga, saat anak sakit, ibunya membelikan obat. Menurut Astrid, ini sama halnya dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangg (KDRT). Setelah istri mendapat kekerasan, sang suami minta maaf dan istri diberi hadiah, tapi kemudian kekerasan terjadi lagi.
“Memang mereka berada di dalam lingkaran kekerasan. Jadi pada kasus ini, anak merasa patut dipukul, kan anak nggak tahu bahwa dia sebegitu berharganya sehingga nggak layak mendapat kekerasan,” tambah psikolog lulusan Universitas Indonesia ini.
Atau, mungkin saja orang tua tidak tahu bahwa melakukan kekerasan tidak dibolehkan, ada faktor dari masa lalu si orang tua, bahkan bisa saja orang tua sudah tahu dia tidak boleh melakukan kekerasan, tapi orang tua tidak bisa menahan diri.
“Banyak faktor yang perlu dilihat lebih dalam. Pada kasus ini, si anak mendapat kekerasan, dia sakit, dibeliin obat, tapi ternyata berakibat fatal. Saat seperti ini, ibu menyesal dan sudah terlambat, mau nggak mau juga dapat konsekuensi kan ibunya,” kata Astrid.